INDRAPURA.ID – Sejumlah anggota DPRD Jawa Timur memberikan tanggapan terkait rancangan Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dalam rapat paripurna, Kamis (21/3). Diketahui Raperda ini bertujuan untuk menyeimbangkan aspek ekonomi dan kesehatan masyarakat.
Anggota Fraksi PAN DPRD Jatim Basuki Babussalam menyampaikan apresiasi semangat untuk menciptakan Raperda KTR. Namun ia mengingatkan bahwa tembakau merupakan penyumbang ekonomi Jawa Timur. “Di Kediri, keterkaitan masyarakat Kota Kediri dengan industri rokok mencapai 80 persen. Artinya perusahaan rokok terbesar di Kediri ini tidak ada, maka seluruh persoalan ekonomi di kawasan ini akan bermasalah,” ujarnya dalam rapat paripurna.
Basuki menambahkan tidak hanya di Kediri, sejumlah daerah di Jawa Timur masyarakatnya juga memproduksi tembakau yang menjadi penopang ekonomi. “Kami mengapresiasi Reperda ini, namun harus mempertimbangkan dengan arif, agar tidak mematikan ekonomi yang dibangun oleh petani tembakau. Artinya harus ada keselarasan yang harus dibangun,” katanya.
Hal senada juga disampaikan Anggota Fraksi Demokrat DPRD Jatim Agus Dono Wibawanto mengatakan kesadaran tentang rokok dan kesehatan merupakan kewajiban semua komponen bangsa, akan tetapi yang harus dipikirkan bersama adalah negara berhutang budi kepada petani tembakau dan turunannya. “Tahun 2003, cukai rokok mencapai Rp218,6 Triliun. Artinya kita tidak bisa begitu saja menghilangkan peran tembakau, terutama di Jawa Timur,” ujarnya.
Agus Dono menambahkan harus diketahui tembakau ini tidak bisa ditanam di sembarang tempat. Menurutnya hal ini tidak hanya persoalan kesehatan semata, ini adalah persoalan internasional dimana negara-negara kapitalis ingin menguasai industri rokok secara global. “Disadari atau tidak, kalau 15 tahun yang lalu Sampoerna dan Bentoel itu milik bangsa kita, tapi saat ini sudah dikuasai BAT dan Philip Morris,” jelasnya.
“Ada sebuah anomali yang sangat luar biasa, kalau toh memang kita ingin memberikan batasan atau perwilayahan, apakah Jawa Timur memiiki wilayah? Kan secara teknis wilayah ini ada di daerah tingkat II. Kita jangan menelan mentah-mentah suatu hal yang sangat luar biasa tarik ulurnya. Sampai saat ini Pemrintah Indonesia belum menandatangani Framework Convention on Tobacco (FCTC), karena bahwa ada produk heritage terutama rokok kretek yang menjadi produk budaya kita,” imbuhnya.
Agus Dono menegaskan jika larangan itu dilakukan, tentu yang kaget adalah masyarakat menengah kebawah.
“Kebahagiaan masyarakat kalangan menengah kebawah itu adalah ngopi dan merokok, Jangan dijustifikasi rokok banyak menyebabkan orang meninggal. Sampai saat ini belum ada data orang meninggal gara-gara rokok. Kalau meninggal akibat kolesterol, makanan kapitalis yang masuk Indonesia itu lebih banyak sebenarnya. Maka dari itu harus ada keadilan yang tidak hanya melihat satu sisi yaitu kesehatan. Tetapi harus ada sisi sosial, budaya, politik dan historis,” terangnya.
Lebih lanjut Agus Dono mengatakan larangan yang paling utama adalah rokok bersumber dari teknologi seperti vape rokok elektrik. Menurutnya ini sebenarnya yang lebih membahayakan bagi kesehatan. “Tapi uniknya, Penanaman Modal Asing (PMA) ini diterima oleh Jawa Timur, memang diketahui kontribusinya sangat besar, sekitar Rp1 Triliun,” katanya.
Menurutnya Jawa Timur ini adalah lumbung tembakau, tapi Jawa Timur importasi tembakau dari Virginia sangat besar jumlahnya.
“Ini kan anomali. Artinya kalau kita ingin membuat regulasi harus ada perimbangan. Jangan sampai tiap tahun pemerintah menaikkan cukai rokok dengan tujuan agar banyak yang tidak merokok, namun ini justru memperlebar rokok ilegal. Saran saya rekan-rekan anggota DPRD Jatim agar jeli dalam membahas raperda ini, karena belum tentu kabupaten/kota yang tidak memiliki perda turunan ini menjalankan fungsi ini. Karena dari 38 kabupaten kota ada 25 daerah penghasil tembakau,” tegasnya.
Sebelumnya, pada rapat paripurna Senin (18/3), Juru Bicara Bapemperda DPRD Jawa Timur Umi Zahrok menjelaskan bahwa meski rokok memiliki dampak negatif terhadap kesehatan, industri rokok juga berkontribusi terhadap kegiatan ekonomi dan pendapatan negara. Data menunjukkan bahwa Jawa Timur memiliki 754 pabrik rokok dengan produksi 3,3 miliar batang pada tahun 2022. Sementara kontribusi cukai rokok mencapai Rp135,16 triliun pada tahun yang sama. “Pembentukan Perda KTR bukan dimaksudkan untuk melarang orang merokok, tetapi hanya mengendalikan perilaku orang agar tidak merokok dalam Kawasan Tanpa Rokok,” katanya.
Umi menyampaikan bahwa pengendalian ini bertujuan untuk melindungi hak setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang dijamin dalam UUD 1945. Hak ini lebih tinggi daripada hak merokok. “Merokok bukanlah bagian dari hak asasi manusia, sedangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak asasi,” tegasnya.
Raperda KTR ini didasarkan pada kewenangan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang kesehatan, serta UU Kesehatan dan Peraturan Pemerintah (PP) No 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
“Pembentukan Raperda ini menjadi kebutuhan masyarakat Jawa Timur untuk segera dibentuk, mengingat daerah Provinsi Jawa Timur memang belum memiliki kebijakan hukum yang mengatur mengenai Kawasan Tanpa Rokok,” pungkasnya.