Komisi E DPRD Jatim: Mau Diapakan 66% Anak Didik Kita?

INDRAPURA.ID – Dalam menghadapi tantangan memasuki Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), kebijakan zonasi menjadi sorotan utama di banyak daerah. Namun, semangat pemerataan pendidikan tidak selalu sesuai dengan realitas lapangan.

Banyaknya pindah domisili yang mendekati sekolah negeri demi masuk dalam zonasi menimbulkan pertanyaan akan keadilan. Hal ini memunculkan debat terkait otentisitas bukti material, serta tantangan dalam menilai kesesuaian pindah domisili dengan kebutuhan sebenarnya.

Wakil Ketua Komisi E DPRD Jatim, Hikmah Bafaqih menyuarakan pendekatan inklusif dalam menangani permasalahan ini. Politisi PKB ini menyoroti pembangunan sekolah negeri yang belum merata di Jawa Timur.

Sebagai alternatif, Hikmah justru menekankan pentingnya mengembangkan lembaga pendidikan swasta yang sudah ada.

“Dalam menghadapi kebutuhan akan pendidikan yang berkualitas, pemerintah tidak boleh melupakan peran lembaga pendidikan swasta,” katanya, Jumat (3/5).

Menurut Hikmah, Dengan 66 persen lulusan SMP bersekolah di swasta, upaya pemerintah untuk meratakan pendidikan tidak bisa hanya berfokus pada sekolah negeri. Dibutuhkan dukungan dan pembinaan yang lebih kuat terhadap lembaga pendidikan swasta agar mereka dapat menjadi alternatif yang berkualitas.

“66 persen anak-anak kita yang lulusan SMP itu sekolahnya di swasta ke jenjang SMA/SMK. Mau kita apakan 66 persen ini, mau didiskriminasi, kan tidak boleh. Dan yang bisa ditampung di negeri itu hanya 34 persen untuk lulusan SMP,” jelasnya.

“Sistem zonasi harus mengakomodasi kebutuhan masyarakat secara menyeluruh. Pendidikan berkualitas tidak hanya terkait dengan sekolah negeri, tetapi juga kualitas proses belajar mengajar,” tambah Hikmah.

Dalam konteks anggaran yang terbatas, lanjut dia, Fraksi PKB DPRD Jatim menekankan pentingnya memberikan respon alternatif. Seperti pembinaan, pengawasan, koordinasi, dan pelatihan peningkatan kompetensi bagi lembaga pendidikan swasta yang ada.

“Pemerintah harus memandang pendidikan sebagai investasi jangka panjang. Bukan hanya sekadar memenuhi kuota, tetapi juga menciptakan sistem yang inklusif dan berkualitas bagi semua anak bangsa,” ujarnya.

Dengan pendekatan inklusif dan berkelanjutan, diharapkan tantangan dalam pemerataan pendidikan dapat diatasi dengan lebih efektif, tanpa mengorbankan prinsip keadilan dan kebersamaan dalam mencerdaskan anak bangsa.

“Ketika semua merasa harus anaknya sekolah di negeri, merasa tidak sekolah kalau tidak di negeri, ini kan problem. Mending dibalik, diajak masyarakat untuk berpikir, yang penting bukan negerinya, tapi anak-anak mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Berkualitas itu bukan sekolah yang mahal, ada banyak sekolah di pinggiran yang sederhana tapi memiliki proses belajar mengajar yang bagus,” pungkasnya.


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *