INDRAPURA.ID – Puluhan tenaga honorer di Jember meluapkan uneg-unegnya kepada Anggota DPRD Jatim, Hari Putri Lestari saat serap aspirasi di Desa Kertosari Kecamatan Pakusari. Tenaga honorer ini berasal dari beberapa Pukesmas, instansi, dan Satpol PP di Jember.
Salah satu warga, Faridah mengaku dirinya sudah puluhan tahun menjadi tenaga honorer di Puskesmas. Namun hingga saat ini belum ada kejelasan untuk direkrut menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) atau Aparatur Sipil Negara (ASN).
“Hal ini juga banyak dialami di Puskesmas lainnya. Diharapkan semua yang sudah bekerja lama diangkat jadi P3K atau PNS,” ujarnya, Sabtu (15/7/2023)
Faridah menegaskan, meskipun hanya diberi gaji Rp 500 ribu per bulan, tenaga honorer tetap dalam pengerjaan dan memberi pelayanan sudah profesional. Sementara jam kerja sama dengan ASN yakni pukul 07.00-14.00 WIB.
Menanggapi curhatan tenaga honorer, Hari Putri Lestari mengungkapkan bahwa mereka gelisah dengan statusnya. Mengingat beredar kabar ada kebijakan pemerintah hanya memperkerjakan ASN dan P3K.
“Makanya saya mengundang mereka dulu untuk menenangkannya bahwa pemerintah masih mencari solusi dulu. Apa yang diupayakan pemerintah tidak ada PHK besar-besaran,” tuturnya.
Wanita yang akrab dipanggil Lestari, DPRD menunggu aturan atau payung hukum dari pemerintah pusat. DPRD dan Pemprov Jatim tidak berani membuat regulasi mendahului pemerintah pusat.
“Kita tanya apakah mereka bekerja secara teratur, mereka berkerja Senin-Sabtu. Berarti Pemkab memperkerjakan di instansi, puskesmas atau di keamanan,” katanya.
Politisi asal PDIP itu membeberkan bahwa selama ini pekerjaan dan jam kerja honorer rutin. Bahkan terkadang harus lembur. Melihat kondisi itu, Lestari menyayangkan Pemkab Jember tidak ada upaya untuk menjadikan mereka sebagai P3K karena sudah mengabdi puluhan tahun.
“Ini sebenarnya pembiaran seperti bom waktu. Seharusnya pemerintah turun ke bawah kalau memang faktanya tetap dibutuhkan, mau tidak mau pilihannya minimal P3K. Namun harus ada mekanisme dan persyaratan yang harus disampaikan,” paparnya.
Lestari menjelaskan, jika memang pemkab memang tidak membutuhkan tenaga honorer harus ada pendekatan dan solusi. Tenaga honorer sendiri berharap agar yang diutamakan direkrut menjadi P3K atau ASN, tenaga yang sudah bekerja puluhan tahun.
“Jangan sampai yang baru bekerja diterima, sementara yang lama tidak ada kejelasan atau justru di PHK,” pintanya.
Menurutnya, secara hak asasi manusia dan Undang-Undang Dasar, setiap warga negara berhak mendapatkan pekerjaan yang layak. Namun pengalaman kerja bisa menjadi pertimbangan-pertimbangan untuk menjadi P3K atau ASN. Sedangkan mekanisme tes harus tetap dilalui, karena pemerintah mempunyai aturan.
“Ada laporan di bawah, tapi tidak semua. Pekerja lama mengaku ada kejenuhan. Laporan-laporan dari Masyarakat juga ada yang komplain soal pelayanan perawat, itu bisa jadi catatan. Maka tes menjadi ukuran apakah layak menjadi abdi masyarakat atau tidak,” ucapnya.
Anggota Komisi A DPRD Jatim itu menegaskan, jika rekrutmen dipaksakan, maka pegawai bekerja tidak sesuai bidangnya, dan tidak akan maksimal pelaksanaannya. Pegawai akan mendapatkan kesejahteraan, namun Lestari menilai pemerintah wajar mengharapkan kinerja yang mumpuni.
“Memang tidak dipungkiri tenaga honorer membludak karena beberapa tahun sebelumnya sebagian tenaga tersebut titipan salah satu pejabat. Misalnya pejabat ini titip saudaranya, meski tidak ada peluang, akhirnya disesel-seselkan,” paparnya.
Lestari menyebut tenaga honorer yang dulunya titipan, bisa saja tidak memenuhi persyaratan ketika dilakukan seleksi, karena keterbatasan bidang yang dibutuhkan. Maka, ia menilai sangat wajar ketika pemerintah menyeleksi. “Pemerintah menghendaki yang terbaik itu wajar. Di swasta pun ada seleksi,” pungkasnya.