SURABAYA- Komisi bidang keuangan (C) DPRD Jatim mengkritisi kinerja sejumlah BUMD milik Pemprov Jatim berhadasarkan target dan capaian tahun 2018. Kritik tersebut disampaikan Komisi C pada rapat paripurna DPRD Jatim terhadap Raperda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD Jatim 2018.
Juru bicara Komisi C DPRD Jatim Gatot Sutantra berharap adanya optimalisasi BUMD Jatim dengan melakukan penataan kegiatan usaha yang dijalankan oleh selluruh BUMD menjadi satu kesatuan kekuatann ekonomi yang mampu bersinergi dalam kapasits dan fungsinya sebagai penggerak perekonoian daerah maupun sumber PAD.
Dari pencermatan Komisi C, kontribusi PAD dalam setiap tahun anggaran tidak begitu jauh dengn target yang telah ditetapkan dalam APBD. Bahkan dalam APBD 2018 tidak bisa diberikan secara penuh dari targetnya.
“Karena itu, Komisi C mohon Gubernur selaku pmgang saham pengendali menekankan kepada BUMD agar melakukan penghitungan secara moderat dan progresif atas deviden yang diberikan ke PAD dengan tidak menumpuk pembagian laba untuk cadangan,” pinta Gatot, Senin (24/6/2019).
Di sisi lain, modal inbreng aset yang cukup besar ke PT PWU Jatim, masih banyak yang tidak dioptimalkan sehingga menjadi aset idle. Bahkan pemanfaatannya juga tidak dikelola secara langsung oleh PT PWU melainkan dikerjasamakan dengan pihak ketiga.
“Komisi C minta PT PWU Jatim agar lebih serius dalam pengelolaan aset-aset inbreng dengan senantiasa mengedepankan prinsip-prinsip bisnis dan memberikan ekonomi serta menddatangkan keuntungan yang pada akhirnya akan berkontribusi secara sigifikan kepada PAD,” kata politisi asal Fraksi NasDem Hanura.
Khusus pemanfaatkan lahan di Jalan A Yani No.115 Surabaya yang telah dikerjasamkan dengan PT JGU Jatim untuk pembangunan hotel dan apartemen The Frontage. “Kami minta segera dilakukan reschedule atas pembiayaan melaluai pinjaman bank yang justru menjadi beban perusahaan,” imbuhnya.
Sementara itu ketua Komisi C DPRD Jatim, Hj Anik Maslachah meminta PT Bank Jatim lebih mengoptimalkan Dana Pihak Ketiga (DPK), mengingat rasio LDR-nya pada tahun 2018 hanya mencapai 66,57 persen dan tahun 2019 berjalan juga masih mencapai 62,74 persen atau jauh dari rasio minimal yang oleh BI ditentukan paling renndah 75 persen.
“Rendahnya rasio NPL tersebut menandakan Bank Jatim masih kurang maksimal dalam memanfaatkan DPK sehingga dana yang terkumpul menjadi idle dan malah meningkatkan rasio BOPO. Padahal wirausaha UMKM sangat membutuhkan penguatan permodalan guna pengembangan usahanya,” kata Anik.
Politisi PKB itu juga meminta Bank Jatim dan Bank UMKM Jatim meningkatkan kinerjanya dalam menekankan tingkat rasui NPL-Gross melalui penguatan satuan pengawasan internal auditor dan tim resiko kredit dengan dukungan pengawasan melekat dari tim ad hoc.
“Penanganan kredit macet harus menjadi prioritas mengingat tingginya kredit macet akan berdampak terhadap kontribusi ke PAD. Penguatan SDM analisa kredit dan tenaga marketing guna meminimalkan resiko kredit macet dan penigkatan DPK sangat diperlukan,” tegas Anik.
Kemudian untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Jatim akan jasa perbankan syariah maupun jasa keuangan syariah lainnya yang kian meningkat, kata Anik Pemprov bersama DPRD Jatim telah menggagas pendirian Bank Jatim Syariah sebagaimana amanat Perda Jatim No.9 tahun 2018.